Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Definisi
Lupus berasal erythematosus
dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic
Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda
dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan
tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada
kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun
sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan
pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang
diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan
dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari
penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung
dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terliba.
Etiologi
dan Faktor Predisposisi
Etiologi
utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi
dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa
faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang
paling
dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Berikut
ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor
Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal
sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik
untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada
individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi
dibandingkan pada populasiumum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi
beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit
Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan
pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi
yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan
berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S
dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur
sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita
lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T
akan salah mengenaliperintah dari sel T
b. Kelainan
intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah
sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan
sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi
imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan
antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai
antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun
lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor
Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya
LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme
estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya
SLE.
4. Faktor
Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai
antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi
virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan
dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan
sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun
tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak
akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
Gambaran
Klinis
SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat
bersifat eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini menyerang berbagai macam organ
seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf, kardiovaskular, serta rongga
mulut. Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada ginjalnya. Keterlibatan
ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas pada
populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik
yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif
disertai dengan gagal ginjal. Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan
manifestasi pada muskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi
temporomandibular dan nekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada pasien SLE.
Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus
dermatitis. Lupus dermatitis
dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan subacute
cutaneous
lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran
klinis SLE pada kulit berupa
lesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi,
bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly
rash karena membentuk seperti sayap kupu-kupu telinga, dagu, daerah leher, punggung atas,
danbagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu dengan DLE memiliki SLE namun,
diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Tingkat keparahan butterfly
rush, kadang disertai dengan serangan penyakit sistemik. SCLE dapat
menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan psoriasis
atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat
fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE
pada kulit lainnya dapat ditemukan berupa urtikaria rekuren, dermatitis lichen
planus-like, bulla, dan panikulitis.
Diagnosa
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan.
Selain dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit
ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita.
Gejala yang dapat timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan
berat badan, kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap
beberapa organ vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan
gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis,
anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan
deteksi dini penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit
ini sama dengan penyakit lain.
Kriteria
Definisi
1.
Butterfly Rash
Terdapat
eritema, datar, atau meninggi yang cenderung tidak mengenai lipatan nasolabial.
2.
Discoid Rash
Bercak
eritema menonjol dengan skuama keratosis dan sumbatan folikel, parut atrofi
dapat muncul pada lesi yang sudah lama timbul.
3.
Fotosensitivitas Ruam yang timbul setelah terpapar sinar ultraviolet A dan B
Kriteria
Definisi
4.
Ulser Mulut Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya tidak
nyeri jika
sudah kronis.
5.
Arthtritis Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih persendian perifer
dengan rasa sakit disertai pembengkakan
6.
Serositis Radang pada garis paru-paru, disebut juga pleura atau pada jantung
disebut juga pericardium
7.
Kelainan Ginjal Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan tidak
normal
dalam urin terlihat dengan bantuan mikroskop
8.
Kelainan Saraf Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan
metabolik
yang diketahui.
9.
Kelainan Darah Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - <4,0 x 10
pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua atau lebih pemeriksaan.
10.Kelainan
Imunitas Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer abnormal ; atau
antibody antifosfolipid positif berdasarkan pada kadar antibodi antikardiolipin
IgG atau IgM serum yang abnormal dan uji positif antikoagulan lupus menggunakan
uji standar.
11.Tes
ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya obat yang
diketahui berkaitan dengan SLE yang diinduksi obat.
Terapi
Terapi
SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan
agar
tujuan terapi dapat tercapai.Berikut pilar terapi SLE :
a. Edukasi
dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar
sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup
mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan
fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi
kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara
langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar
tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program
Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang
dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan
terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan
lain-lain.
c. Terapi
Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri
dari NSAID
(Non Steroid Anti-Inflamation Drugs),
antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi lain sesuai manifestasi
klinis yang dialami.
Pengobatan
1.
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada
tingkatan yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot,
sendi dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan
sulindac. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada
saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.
2.
Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama
dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi
sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan
kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena.
Contoh : Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis
yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.14,24 Beberapa
efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat
badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan
jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.
3. 3. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri
dari hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih
sering digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih
rendah. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit,
dan sendi. Baik untuk mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh
darah. Toksisitas pada mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif,
sehingga selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien
dianjurkan untuk memeriksakan ketajaman visual setiap enam bulan untuk
identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
4. 4. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk
menekan sistem imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi
pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF),
methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.
Sumber: Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar